BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada banyak Budaya yang mempengaruhi
tumbuh kembangnya kesadaran hukum dimasyarakat. Sebelum lebih jauh
membahas masalah tersebut kita harus terlebih dahulu mengetahui arti
dari budaya itu sendiri. Kebudayaan, cultuur dalam bahasa Belanda dan culture dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin “colore” yang
berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari
pengertian budaya dalam segi demikian berkembanglah arti culture sebagai
“segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Untuk membedakan pengertian istilah budaya dan kebudayaan, Djoko Widaghdo (1994),
memberikan pembedaan pengertian budaya dan kebudayaan, dengan
mengartikan budaya sebagai daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan
karsa, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.
Sedangkan Kesadaran hukum
itu sebenarnya meerupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di
dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. Sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang
fungsi hukum dan bukan suatu penilaian (menurut ) hukum terhadap
kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
Di dalam kehidupan masyarakat
sekarang ini budaya-budaya itu sudah tumbuh dan berkembang sangat pesat,
sehingga akan sulit dalam hal untuk merubah dari budaya yang buruk
menjadi budaya yang baik, oleh karena itu akan sulit pula untuk
menumbuhkan kesadaran hukum di masyarakat. Hal inilah yang mengakibatkan
terjadinya kesenjangan antara das sein dan das sollen,
apa yang seharusnya terjadi dengan apa kenyataan yang terjadi. Untuk
mengkaji lebih jauh mengenai masalah tersebut diatas saya mengangkat
judul “ UPAYA MENINGKATKAN KESADARAN HUKUM DI MASYARAKAT DARI SEGI CULTURE ” .
B. Rumusan Masalah
- Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kurangnya kesadaran hukum di masyarakat ?
- Bagaimana upaya untuk mengubah Culture di masyarakat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesadaran Hukum
Menurut Paul Scholten
kesadaran hukum sebenarnya meerupakan kesadaran akan nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang
hukum yang diharapkan ada. Sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai
tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian (menurut ) hukum
terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Sedangkan menurut H.C. Kelmen secara langsung maupun tidak langsung kesadaran hukum
berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan hukum, yang dikonkritkan
dalam sikap tindak atau perikelakuan manusia. Masalah kepatuhan hukum
tersebut yang merupakan suatu proses psikologis ( yang sifatnya
kualitatif ) dapat dikembalikan pada tiga proses dasar, yakni Compliance, Identification, Internalization.
Soejono Sokamto
memberikan pengertian Kesadaran Hukum adalah suatu percobaan penerapan
metode yuridis empiris untuk mngukur kepatuhan hukum dalam menaati
peraturan. Sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat
di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada, sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang
fungsi hukum dan bukan suatu penilaian terhadap hukum.
B. Pengertian Culture
Kebudayaan, cultuur dalam bahasa Belanda dan culture dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin “colore” yang
berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari
pengertian budaya dalam segi demikian berkembanglah arti culture sebagai
“segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Untuk membedakan pengertian istilah budaya dan kebudayaan, Djoko
Widaghdo (1994), memberikan pembedaan pengertian budaya dan kebudayaan,
dengan mengartikan budaya sebagai daya dari budi yang berupa cipta,
rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta,
karsa, dan rasa tersebut.
Menurut Djojodiguno (1958) dalam bukunya : Asas-asas Sosiologi, memberikan definisi mengenai cipta, karsa, dan rasa sebagai berikut: Cipta
adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada
dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil
cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan. Karsa
adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal “sangkkan
paran”. Dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan kemana manusia
sesudah mati (paran). Hasilnya berupa norma-norma keagamaan/kepercayaan.
Rasa adalah kerinduan
manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongann untuk menikmati
keindahan. Hasil dari perkembangan rasa terjelma dalam bentuk dalam
berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan macam-macam
kesenian.
Menurut Koentjaraningrat (1974), menyatakan bahwa kebudayaan terdiri atas tiga wujud:
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan.
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
- Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud yang ideel
dari kebudayaan. Sifatnya abstrak tak dapat, tak dapat diraba.
Lokasinya ada dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan
yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideel ini dapat kita sebut adat
tata kelakuan, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Wujud kedua
dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, menganai kelakuan
berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul
satu dengan lain menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, yaitu
berupa seluruh total dari hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya
semua manusia dalam masyarakat.
Di atas telah dijelaskan bahwa
kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi tersebut dapat
dirinci sebagai berikut:
Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia. Karena itu meliputi:
- Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia.
- Kebudayaan non material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya religi (walau tidak semua religi ciptaan manusia).
- Bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.
- Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.
Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi
atau yang lazim disebut dengan pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal
dan budi atau pikiran dan perasaan telah memungkinkan munculnya
tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan hidup
makhluk lain. Sedangkan pada sisi yang lain, akal dan budi memungkinkan
munculnya karya-karya manusia yang sampai kapanpun tidak pernah akan
dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa dan rasa pada manusia
sebagai buah akal budinya terus bergerak berusaha menciptakan
benda-benda baru untuk memenuhi hajat hidupnya; baik yang bersifat
rohani maupun jasmani.
Pengertian kebudayaan (culture) dalam
arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam
rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia akan selalu
melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis)
yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT)
dari lingkungan alam dan sosialnya. Pernyataannya dapat dalam bentuk
bahasa (lisan, tulisan, isyarat), benda (tools and equipment), sikap dan kebiasaan (adat/ habit and attitude), dan
lainnya. Komponen-komponennya (unsur-unsur kebudayaan) diantaranya
politik, ekonomi, sosial, teknologi, transportasi, komunikasi, dan
religi. Komponen ini merupakan bagian dari sistem kebudayaan yang tak
terpisahkan, dan bingkainnya (boundary cultural system) adalah supranatural.
Tentang peranan budaya hukum, Lawrence M Friedman menulis, legal culture: “People’s attitude toward law and legal system, their beliefs, values and expectations“.
(What is legal system in America law, W.W. Norton & Company, 1984).
Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri dari berbagai
suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka
ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi
hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun
berpengaruh secara nasional.
Kita mengenal beberapa budaya daerah
yang membangun kerangka-kerangka hukum dan ditaati oleh kelompok
masyarakat daerahnya, seperti di daerah Sumatera Barat dikenal Tuah
Sakato: Saciok Bak Ayam, Sadanciang Bak Basi, sedang pada masyarakat
Batak ada adat Delihan natolu dan Pardomoan di mana peran “Raja Marga”
dalam menyelesaikan perselisihan antarmarga sendiri maupun antarmarga
sangat dihormati. Demikian pula masyarakat Sulawesi Utara ada Torang
semua basodara yang menjiwai masyarakat Sulut menjadi ramah dan
senantiasa berupaya menghindari pertikaian sesama. Di Jawa umumnya ada
Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Pada masyarakat Indonesia dikenal
gotong royong sebagai perwujudan semangat hidup dalam kebersamaan.
Sistem nilai dalam kelompok masyarakat itu menjadi budaya hukum dalam
menyelesaikan perselisihan atau sengketa di luar pengadilan menurut
hukum positif.
Begitu pentingnya peran budaya hukum
sehingga kesadaran hukum dalam pelaksanaannya akan lebih efektif, maka
budaya hukum yang melahirkan kesadaran hukum perlu kajian lebih mendalam
dan pembinaan yang lebih terarah, sehingga tercapai masyarakat yang
aman, tenteram dan sejahtera. Begitulah hendaknya masyarakat yang taat
hukum.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya kesadaran hukum di masyarakat
Masyarakat majemuk seperti masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan
memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya
khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di lingkungan
kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional. Kita akan
mencoba melihat bagaimana negara kita khususnya masyarakat Indonesia,
memandang pelanggaran hukum beserta konsekuensinya. Dalam mata pelajaran
moral dan kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah-sekolah, seorang
pengajar selalu menekankan bahwa negara kita adalah negara hukum, negara
yang menjunjung tinggi hukum dan peraturan. Banyak dari segi kehidupan
berbangsa dan bernegara kita diatur oleh hukum dan peraturan. Tentu saja
hal ini sangat bermanfaat mengingat negara kita merupakan negara yang
majemuk dan bervariasi.
Bayangkan jika tidak ada hukum atau
peraturan yang mengatur kemajemukan budaya dan adat istiadat dari
berbagai macam suku dan ras di Indonesia. Tentu negara kita akan
terpecah belah oleh sedikit perbedaan saja. Namun, meskipun banyak
sekali peraturan dan hukum yang telah dibuat, hal ini tidak membuat
seseorang langsung menjadi orang yang taat akan segala hukum begitu
saja. Ingat, bahwa di dalam diri setiap manusia ada rasa ingin bebas dan
merdeka. Mungkin pada awalnya, seseorang akan selalu mematuhi
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Tetapi seraya waktu terus
berjalan, beberapa orang mulai merasa bahwa peraturan-peraturan tersebut
terlalu membatasi gerak-gerik kehidupannya. Maka, secara perlahan tapi
pasti, seseorang akan mulai melanggar hal-hal yang kecil, lalu beranjak
terus ke pelanggaran yang serius.
Contoh kasus
berikut ini akan membantu menggambarkan kondisi yang sering terjadi di
dalam masyarakat Indonesia. Di suatu kota, ada seorang warga yang
bernama joko yang ingin memperpanjang masa aktif Kartu Tanda Penduduk atau KTP nya di kelurahan setempat. Ketika sampai disana, ia mendapati bahwa ternyata tidak ada seorang petugas pun yang ada pada tempatnya bekerja.
Hanya seorang tukang sapu yang terlihat olehnya sedang membersihkan
lantai teras depan. Lalu, Budi bertanya pada tukang sapu tersebut,
apakah kantor kelurahan ini sudah dapat menerima tamu atau belum. Si
tukang sapu pun menjelaskan bahwa sebenarnya kantor sudah dibuka sejak
jam 8 pagi tetapi biasanya petugas baru bertugas setelah jam 10. Karena
masih harus menunggu, Budi pun mencari tempat untuk duduk dan
menyejukkan mulut untuk mengusir rasa kesal karena ia masih harus
menunggu sampai jam 10 lewat. Ketika ia sampai di sebuah warung, ia
mendapati ada banyak sekali pegawai negeri yang sedang duduk bersantai
sambil membicarakan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan
mereka. Lalu, Budi pun mencoba bertanya dengan sinis apakah mereka tidak
masuk kerja hari ini. Salah seorang pegawai negeri menjawab bahwa hari
ini mereka masuk tetapi hanya mengisi absen pada jam delapan. Baru
setelah mengobrol dan minum-minum, mereka akan masuk sekitar jam 10
lewat. Pada kenyataannya, mungkin kejadian ini tidak sama persis dengan
yang terjadi di tempat kita bekerja atau di tempat lain. Akan tetapi,
prinsipnya tetap sama, yaitu bahwa kebanyakan orang menyadari tindakan
mereka sebagai suatu pelanggaran, namun mereka tetap melakukannya. Yang
lebih buruk, dengan melakukan hal itu orang lainlah yang harus menerima
kerugiannya. Mungkin bagi beberapa orang, hanya kehilangan waktu
sebanyak 30 menit sampai 1 jam sehari masih dapat ditolerir. Tapi
bagaimana jika itu dilakukan setiap hari ? Berapa jam, hari, dan tahun
yang terbuang percuma? Dalam 1 jam, mungkin hanya dua orang warga yang
merasa kesal karena menunggu. Tapi jika itu dilakukan tiap hari, berapa
banyak orang yang akan merasa kesal? Dan, pendapatan negara pun akan
banyak berkurang karena waktu yang terbuang percuma demikian.
Dari contoh
kasus di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kurangnya
kesadaran hukum di dalam masyarakat itu ada 2 yaitu dari :
- Masyarakat : Masyarakat merasa hukum di indonesia masih belum bisa memberikan jaminan terhadap mereka. Dan kebanyakan dari mereka masih belum mengerti dan memahami bahasa dari hukum, sehingga kesadaran masyarakat terhadap hukum itu kurang.
- Aparat penegak hukum : Aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana hukum itu sendiri masih belum bisa untuk benar-benar menerapkan peraturan yang sudah ditetapkan. Malah sering aparat penegak hukum yang seharusnya sebagai pelaksana malah melanggar hukum. Hal itu membuat masyarakat menjadi memandang remeh aparat penegak hukum.
D. Upaya untuk mengubah culture di masyarakat
Upaya untuk mengubah budaya yang sudah ada pada masyarakat indonesia sebenarnya sangat susah, karena culture yang ada di indonesia itu sangat bermacam-macam dan beraneka ragam,
sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Tetapi kaitannya dengan budaya
masyarakat indonesia yang sangat kurang terhadap kesadaran hukum itu
mungkin disebabkan karena dari awal masyarakat itu tidak mengerti akan
pentingnya hukum bagi kehidupan, kalau saja tidak ada hukum mungkin akan
terjadi kekacauan dimana-mana.
Untuk dapat meningkatkan kesadaran
hukum di masyarakat mungkin pemerintah atau aparat penegak hukum sebagai
pembuat dan pelaksana dapat lebih mensosialisasikan hukum itu sendiri
kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat lebih mengerti mengenai akan
pentingnya hukum itu bagi kehidupan bermasyarakat.
Jadi upaya
untuk mengubah culture yang ada di masyarakat itu harus diawali dengan
pensosialisasian yang lebih mendalam dan terarah terhadap masyarakat
mengenai pentingnya hukum bagi kehidupan, dengan semakin
banyaknya masyarakat yang mengerti akan pentingnya hukum, budaya
masyarakat kita sedikit demi sedikit akan berubah menjadi lebih baik dan
kesadaran hukum masyarakat indonesia akan lebih meningkat. Dan tujuan
dari hukum akan tercapai yaitu masyarakat yang aman, tentram dan
sejahtera.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kurangnya kesadaran hukum di
dalam masyarakat itu ada 2 yaitu dari :
- Masyarakat : Masyarakat merasa hukum di indonesia masih belum bisa memberikan jaminan terhadap mereka. Dan kebanyakan dari mereka masih belum mengerti dan memahami bahasa dari hukum, sehingga kesadaran masyarakat terhadap hukum itu kurang.
- Aparat penegak hukum : Aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana hukum itu sendiri masih belum bisa untuk benar-benar menerapkan peraturan yang sudah ditetapkan. Malah sering aparat penegak hukum yang seharusnya sebagai pelaksana malah melanggar hukum. Hal itu membuat masyarakat menjadi memandang remeh aparat penegak hukum.
Dan upaya untuk mengubah culture yang
ada di masyarakat itu harus diawali dengan pensosialisasian yang lebih
mendalam dan terarah terhadap masyarakat mengenai pentingnya hukum bagi
kehidupan, dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengerti akan
pentingnya hukum, budaya masyarakat kita sedikit demi sedikit akan
berubah menjadi lebih baik dan kesadaran hukum masyarakat indonesia akan
lebih meningkat. Dan tujuan dari hukum akan tercapai yaitu masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah :
- Hendaknya masyarakat lebih memahami akan pentingnya hukum bagi kehidupan.
- Hendaknya pemerintah lebih aktif dalam memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat.