“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.”
(UU Pernikahan Pasal 1)
Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama.
Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi. Meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain. Berbagai permasalahan pun akhirnya timbul.
Nikah di bawah tangan (nikah sirri) adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara Indonesia. Memang, masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya, nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (bagi yang muslim) atau Kantor Catatan Sipil setempat (bagi yang nonmuslim) untuk dicatat.
Fenomena nikah siri atau nikah bawah tangan kembali menyeruak dikarenakan dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur.
Memang, dalam hukum agama Islam nikah siri bukanlah satu hal yang dilarang, dengan syarat pernikahan tersebut telah memenuhi rukun dan syarat syah-nya nikah. Namun, nikah siri tetap saja tidak akan dianggap sah di mata hukum kenegaraan (Indonesia), hal ini berdasarkan Undang-Undang Pernikahan pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan UU tersebut, maka pernikahan yang tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil setempat tidak akan diakui oleh negara.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan tema, judul, dan pendahuluan di atas, maka kiranya perlu ada sebuah rumusan masalah sebagai batas pembahasan, agar nantinya pembahasan tidak terlalu jauh dari intinya. Oleh karena itu, agar pembahasan yang kami paparkan sesuai dengan tema dan judul yang telah ditentukan maka penulis batasi rumusan masalah dalam makalah ini ke dalam beberapa pokok pembahasan, antara lain:
1. Konsep dasar nikah bawah tangan
2. Dampak positif dan negatif dari nikah bawah tangan
3. Reinterpretasi terhadap teks Hadis nikah bawah tangan
4. Pola pemikiran tentang nikah bawah tangan
5. Nikah bawah tangan dilihat dari sisi ushul fiqih
Pembahasan
Konsep dasar nikah Bawah Tangan
Dalam masalah pernikahan, kita sering mendengar istilah nikah sirri dan nikah di bawah tangan. Banyak orang yang mengartikan keduanya itu sama, padahal arti keduanya sangatlah berbeda. begitu juga hukum yang berlaku bagi keduanya, baik menurut syar'i maupun menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Nikah sirri sendiri berarti nikah yang rahasia, ini dalam arti etimologinya. Dalam arti terminologi, nikah sirri terdapat beberapa pengertian. Pengertian yang pertama, nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa wali. Penertian yang kedua adalah pernikahan yang dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi dengan tidak di adakannya resepsi dan sebagainya dengan alasan pernikahannya tidak ingin di ketahui oleh orang banyak. Sedangkan nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali namun tidak dilaporkan atau dicatatkan di KUA.
Begitu juga pengertian nikah sirri dalam konteks fiqh memiliki arti yang berbeda dengan yang kita pahami dalam masyarakat. Dengan kata lain nikah sirri adalah nikah yang disembunyikan, dirahasiakan dan tidak diekspose ke dunia luar . Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah memperbolehkannya, sedangkan Malikiyah membolehkan dalam keadaan darurat (takut terhadap orang yang dzakim atau penguasa), dan kalangan Hanabilah manyatakan makruh.
Oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI sengaja lebih memilih istilah pernikahan di bawah tangan dari pada istilah pernikahan siri. Selain untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal dalam konteks fiqih, Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam.
Menurut MUI, nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Sedangkan pengertian nikah sendiri (secara syar’i dalam konteks fiqh) adalah pernikahan yang dilakukan dua mempelai yang dihadiri wali dan dua saksi dengan upaya disebarluaskan dalam bentuk (I’lan) maupun walimatul ursy. Nikah dalam konteks fiqh memang tidak mensyaratkan pencatatan, namun Nikah dalam konteks yuridis Indonesia mengharuskan adanya pencatatan. Hal itu dikarenakan pemaknaan nikah bawah tangan oleh UU Indonesia sebagai pernikahan yang dilakukan secara syar’i (konteks fiqh) dan diketahui orang banyak , hanya saja tidak dicatatkan di kantor urusan agama. Sehingga yang membedakan nikah bawah tangan dan bukan adalah akta nikah sebagai bukti pernikahan.
Di Indonesia nikah sirri dikategorikan dalam empat golongan tergantung pemicunya , yaitu :
1. Berbenturan dengan aturan dalam hukum positif, yaitu pernikahan sirri yang dilakukan untuk menghindari prosedur yang berbelit-belit, pada umumnya menyangkut persyaratan administratif. Seperti masalah pernikahan dengan warga negara lain, faktor usia, faktor ingin menikah lagi, dan lain-lain.
2. Faktor psikologis, nikah sirri yang dilakukan karena faktor psikologis dalam artian faktor usia, telah memenuhi persyaratan untuk menikah. Dari segi ekonomi dan orang tua tidak ada masalah namun studi mereka belum selesai. Secara psikologis mereka belum benar-benar siap untuk mandiri. Dalam kasus ini biasanya mereka membuat perjanjian seperti tidak memilki anak terlebih dahulu.
3. Faktor ekonomi, faktor pemicu ini pada umumnya terjadi di kelompok-kelompok marjinal, orang-orang yang hidup ditempat terlarang atau tidak diakui keberadaannya (misal pinggiran sungai).
4. Faktor tradisi, sebagai sebuah tradisi yang berlangsung turun temurun, mereka menganggap nikah sirri sebagai suatu kelaziman, yang lumrah, praktis, dan ekonomis, sehingga mereka merasa tidak perlu dilegalkan. Umumnya perempuan didaerah pedesaan, daerah terpencil, ataupun kelompok marjinal menjalaninya sebagai sesuatu yang biasa, pernikahan dibawah tangan, dibawah umur adalah suatu kewajiban sosial. Yang terpenting adalah status sebagai istri.
• Dampak Positif dan negative dari nikah bawah tangan
Pernikahan siri ini mempunyai beberapa dampak positif dan dampak negative.antara lain:
Dampak Positif :
1. meminimalisasi adanya sex bebas, serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun penyakit kelamin yang lain.
2. Mengurangi Beban atau Tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Dampak Negatif :
1 Berselingkuh merupakan hal yang wajar
2.Akan ada banyak kasus Poligami yang akan terjadi.
3.Tidak adanya kejelasan status isteri dan anak baik di mata Hukum Indonesia.maupun di mata masyarakat sekitar.
4.Pelecehan sexual terhadap kaum hawa karena dianggap sebagai Pelampiasan Nafsu sesaat bagi kaum Laki-laki.
maka dengan demikian jika dilihat dari dampak - dampak yang ada, semakin terlihat bahwasannya nikah siri lebih banyak membawa dampak negative di banding dampak positifnya. Serta Akibat hukum dari nikah siri itu sendiri :
1. Sebagai seorang istri kita tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
2. Untuk hubungan keperdataan maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada. “seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan terkatung-katung.Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran. Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
3. Dalam hal pewarisan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri siri dengan suaminya tersebut.
Oleh karena itu untuk kaum hawa yang akan ataupun belum melakukan nikah siri sebaiknya berpikir dahulu karena akan merugikan diri kita sendiri. Bagaiamanapun suatu perkawinan akan lebih sempurna jika di legal kan secara hukum agama dan hokum Negara
Reinterpretasi terhadap teks Hadis nikah bawah tangan
Pada umumnya hadis-hadis yang menerangkan tentang pernikahan hanya mensyaratkan adanya dua calon mempelai, wali nikah, dua orang saksi, ijab qabul dan mahar. Hadis-hadis yang menjelaskan masalah ini tidak diragukan. Hadis yang berbicara tentang larangan nikah sirri dalam konteks yuridis indonesia memang tidak ada. Namun secara implisit terdapat tiga hadis yang terkait dengan pencatatan yaitu terkait anjuran mengumumkan pernukahan, terkait ketidaksukaan Nabi menyembunyikan pernikahan, adanya anjuran mengadakan walimah (perayaan pernikahan).
Anjuran untuk mengumumkan pernikahan antara lain terdapat dalam hadis ibn majah yaitu:
ØَدَّØ«َÙ†َا Ù†َصْرُ بْÙ†ُ عَÙ„ِÙŠٍّ الْجَÙ‡ْضَÙ…ِÙŠُّ ÙˆَالْØ®َÙ„ِيلُ بْÙ†ُ عَÙ…ْرٍÙˆ Ù‚َالَا ØَدَّØ«َÙ†َا عِيسَÙ‰ بْÙ†ُ ÙŠُونُسَ عَÙ†ْ Ø®َالِدِ بْÙ†ِ Ø¥ِÙ„ْÙŠَاسَ عَÙ†ْ رَبِيعَØ©َ بْÙ†ِ Ø£َبِÙŠ عَبْدِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ عَÙ†ْ الْÙ‚َاسِÙ…ِ عَÙ†ْ عَائِØ´َØ©َ: عَÙ†ْ النَّبِÙŠِّ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù‚َالَ Ø£َعْÙ„ِÙ†ُوا Ù‡َØ°َا النِّÙƒَاØَ Ùˆَاضْرِبُوا عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ بِالْغِرْبَالِ
yang artinya” ...dari aisyah r.a bahwasanya Nabi berkata umumkan pernikahan inni dan pukulla rebana”.
Meskipun hadis tersebut diakui keabsahannya adalah nikah secara syar’i dengan anjuran adanya walimah, namun hadis ini tidak dapat dimaknai secara tekstual dengan melepaskan konteksnya. Bahwa pernikahan yang dilakukan seperti contoh aplikatif dari Nabi dan ulama tedahulu secara tekstual itu yang harus dilakukan. Pemaknaan hadis tersebut memang tidak menyuruh untuk mencatat pernikahan namun secara historis, kultural dan struktural bisa kita pahami saat itu Nabi berada pada posisi figur tokoh sentral yang melegalkan pernikahan menjadikan pengakuan Nabi bisa dianggap sebagai legalitas formal pernikahan pada masa nabi.
Beberapa dasar argumen yang dijadikan landasan penolakan hadis secara tekstual tentang nikah sirri:
1) Pernikahan adalah persoalan yang menyangkut wilayah muamalah, duniawiyah, relasi dua insan dan sangat terkait dengan relasi sosio, kultur tertentu. Maka tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang normatif.
2) Adanya dalil lain, dan nash al qur’an.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya….(QS antara lain baqarah 282)
Meskipun pernikahan berbeda dengan jual beli namun secara implisit dapat dianalogikan adanya kewajiban dan hak antara kedua pihak ynag bertransaksi dalam akad.
3) Ada konteks sosio-historis yang berbeda pada masa Nabi, masa awal islam dengan keadaan sekarang.
4) Ketiadaan bukti otentik tertulis dan pengakuan negara atas pernikahan mereka bisa menjadikan hilangnya hak dan jatidiri dihadapan hukum dalam memperoleh HAM, keadilan maupun kesetaraan sebagai manusia.
• Dasar pemikiran
Sebagian masyarakat berpendapat nikah siri atau nikah di bawah tangan tidak sah. Sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. Fatwa tersebut merupakan hasil keputusan ijtima' ulama Se-Indonesia II, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006.
Menurut Ma'ruf Amin, nikah siri adalah pernikahan yang telah memenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam), namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak waris.
Nikah sirri dibawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “pernikahan yang terpenuhi semua syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hokum islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan undang – undang.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat - syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana.”[HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam.
Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاينكر تغير الاØكام بتغيرالازمنة والامكنة
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”
Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut sering kali menimbulkan sengketa. Sebab tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Namun demikian untuk menghindari kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang.
Nikah Bawah Tangan dalam Perspektif Ushul Fiqih
Dalam setiap pembahasan suatu masalah yang menggunakan jenis-jenis metodologi apapun, termasuk yang ada dalam ushul fiqih, sebelumnya harus ada identifikasi masalah tersebut. Identifikasi masalah ini mencakup tentang; apa sebenarnya maksud dari nikah bawah tangan tersebut? Bagaimana bentuk pemetaan masalah tersebut di dalam masyarakat saat ini? Dan kemudian bagaimana metodologi yang kita gunakan untuk meneliti masalah ini akan bekerja? Ketiga pertanyaan di atas merupakan sebuah runutan yang biasa diaplikasikan selayaknya ketika sebuah penelitian hendak dilakukan. Selain itu, dalam ushul fiqih sendiri pertanyaan identifikasi yang kedua, yaitu tentang keadaan problem yang diteliti dalam riil masyarakat menempati posisi yang sangat penting. Karena, seperti yang telah kita ketahui bahwa ushul fiqih sendiri adalah sekumpulan perangkat yang bekerja untuk memroses dalil-dalil syar’I dan kemudian menghasilkan hukum-hukum praktis yang kemudian diaplikasikan kepada objek hukum-hukum itu, yaitu masyarakat. Dengan memperhatikan tugas ushul fiqih tersebut, maka wajib bagi para teknisi ushul fiqih untuk selalu mendinamisasi pengetahuan mereka dengan segala perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga diharapakan dengan usaha itu, tidak terjadi kepincangan antara hukum yang dihasilkan ushul fiqih sendiri dengan keadaan riil yang terjadi pada masyarakat saat itu.
Perbincangan tentang definisi pernikahan bawah tangan sendiri telah di bahas pada bagian awal makalah ini. Namun bukan suatu masalah jika kami mengutip lagi beberapa pengertian tersebut. Secara terminologi, terdaapat sedikit kerancuan makna antara istilah nikah sirri dan nikah di bawah tangan. Nikah sirri sendiri merupakan istilah yang diperkenalkan oleh fiqih. Hal ini seperti yang diperkenalkan oleh Wahbah Zuhaili bahwa: “nikah sirri adalah nikah yang tidak diekspose atau disembunyikan dari dunia luar karena alasan-alasan tertentu.” Terdapat beberapa pemaknaan lain tentang nikah sirri yang kesemuanya mempunyai satu kesamaan bahwa penekanan masalah yang terdapat dalam nikah sirri adalah tidak dieksposnya kejadian nikah tersebut. Sedangkan nikah di bawah tangan sendiri merupajan istilah yang diperkenalkan oleh pihak MUI dalam keputusan fatwanya. Kiai Ma’ruf yang menjabat sebagai ketua fatwa MUI mengatakan bahwa MUI sengaja membedakan antara nikah sirri dengan nikah bawah tangan karena satu perbedaan mendasar yaitu Menurut MUI, nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Walaupun secara konsep teoritis antara nikah sirri dan nikah bawah tangan terdapat perbedaan, namun dalam ranah realita masyarakat, kedua jenis pernikahan ini terjadi dan memiliki factor-faktor pemicu yang sama. Faktor-faktor tersebut melingkupi factor ekonomi, factor politis, factor tradisi dan factor efisiensi yang telah dijelaskan di bagian atas makalah ini. Factor-faktor inilah yang kemudian oleh ushul fiqih harus diperhatikan dan ditelaah sebelum memutuskan suatu putusan hukum. Setelah definisi dan pemetaan masalah nikah bawah tangan dalam masyarakat riil sudah ditemukan, kemudian yang perlu dilakukan adalah menentukan perangkat ushul fiqih yang sekiranya cocok untuk meneliti masalah ini dan mengoperasikannya. Dan dalam masalah nikah bawah tangan ini, kami memilih menggunakan konsep sadd ad-dzaraai’. Kami tidak harus menerangkan pengertian dari konsep ini, namun secara umum konsep ini merupakan serpihan dari konsep istishlah. Perbedaan dari kedua konsep tersebut adalah dalam penekanan objek permasalahannya. Jika istishlah lebih menekankan pada hal-hal yang mengandung kemaslahatan dan tidak diatur oleh nash, sedangkan sadd ad-dzaraai’ lebih menekankan pembahasan pada wasa’il yang tidak diatur oleh nash. Dengan kata lain, kasus-kasus yang ditangani dalam konsep ini adalah aktivitas manusia yang diposisikan sebagai perantara yang dapat mengantarkan pelaku aktivitas pelaku tersebut kepada kemadharatan atau mendatangkan kemadharatan bagi orang lain.
Dalam konsep sadd ad-dzaraai’, terdapat dua cara pandang dalam melihat setiap kasus-kasus yang ditangani, yaitu melihat motif pelaku kenapa melakukan perbuatan tersebut dan melihat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Dalam diktat ushul fiqih I juga telah diterangkan tentang kategorisasi cara pandang sadd ad-dzaraai’ dari sisi akibatnya beserta hukum perbuatannya sendiri; mubah tapi mafsadatnya pasti, mubah tapi prakteknya selalu menuju mafsadat, mubah tapi biasanya prakteknya menuju mafsadat, mubah tapi prakteknya kadang-kadang menuju mafsadat.
Jika kemudian konsep ini diaplikasikan dalam permasalahan nikah di bawah tangan, maka hal yang harus kita tentukan adalah menentukan posisi motif pelaku nikah di bawah tangan yang dominan dan kemudian menentukan di posisi manakah nikah bawah tangan berada dengan melihat tingkat mafsadat yang ditimbulkan oleh nikah bawah tangan. Setelah dua langkah itu dilaksanakan maka kemudian penentuan hukum terhadap nikah bawah tangan pun bisa dihasilkan.
Membicarakan motif seseorang melakukan nikah bawah tangan sebenarnya merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, apalagi jika kemudian permasalahan yang di bahas menyangkut orang banyak, namun tentu saja terdapat indikasi-indikasi objektif yang bisa digunakan untuk melihat motif terjadinya nikah bawah tangan di masyarakat saat ini. Kita bisa menggunakan factor-faktor yang memicu terjadinya nikah bawah tangan dan nikah sirri sebagai akumulasi motif secara umum. Sekian motif itu kemudian dibahas untuk menentukan seberapa urgensi motif-motif itu eksis dalam pola pikir masyarakat sehingga bisa mempengaruhi dan memaksa mereka untuk melakukan nikah bawah tangan. Hal ini juga sangat erat berkaitan dengan pembahasan tentang posisi nikah bawah tangan sendiri dalam kategorisasi akibat nikah bawah tangan sesuai dengan tingkat mafsadat yang ditimbulkannya. Kami akan mengambil contoh motif yang paling dominan, yaitu motif tradisi plus agama. Masyarakat dilihat dari perspektif motif ini mempunyai pola pikir dualisme dalam system hukum yang mereka anut, terutama dalam masalah pernikahan.
Dan dalam masyarakat ini, baik nikah bawah tangan atau nikah sirri timbul karena adanya dualisme hukum yang mereka anut. Di satu sisi, mereka mengakui tentang adanya hukum positif saat ini, namun dalam masalah-masalah lain, mereka lebih condong untuk menggunakan hukum agama tanpa memperdulikan keberadaan hukum positif. Hal ini terus berlangsung dan kemudian menjadi tradisi dalam suatu kelompok masyarakat. Jargon umum yang sering digunakan adalah karena pada zaman nabi sendiri tidak ada istilah pencatatan pernikahan di KUA sehingga ketidakberadaan pencatatan tersebut dilegitimasi sebagai keberadaan dan keabsahan dari nikah bawah tangan itu sendiri. Motif di atas, jika dilihat dari kaca mata historis tentu tidak bisa diterima karena adanya perbedaan struktur masyarakat Nabi dengan masyarakat saat ini yang juga memberi pengaruh pada bentuk system dan pola pikir individu-individunya. Namun tentu saja, keberadaan pola pikir tersebut, walaupun dalam kaca mata sejarah kurang tepat, namun tetap saja merupakan sebuah kepercayaan masyarakat yang tidak dapat dipungkiri – seperti yang telah disampaikan di atas – telah memberikan pengaruhnya dalam hal system masyarakat yang berlaku, termasuk masalah value atau nilai; baik-buruk, adil-tak adil dan lain-lain. Termasuk persepsi tentang masalah nikah bawah tangan bagi sebagian masyarakat yang merasa tidak perlu mencatatkan pernikahannya pada KUA. Tidak ada satu pihak manapun yang mempunyai hak untuk menjustifikasi bahwa nikah bawah tangan itu hala atau haram jika hanya mengandalkan motif seseorang melakukan nikah sirri. Penggunaan motif-motif tersebut hanya akan efisien pada masalah pemetaan masalah ini. Sehingga kemudian, sebagai sebuah perangkat hukum, ushul fiqih harus mampu memberikan bukti-bukti tentang akibat yang ditimbulkan dari pernikahan tersebut sehingga kemudian bisa mengkategorisasikan masalah sesuai dengan keadaan saat itu.
Semua penjelasan di atas pada dasarnya memposisikan ushul fiqih dalam kategori umum atau dengan kata lain melihat segala bentuk permasalahan dalam perspektif umum dan tidak partikular, baik dari segi kasusnya ataupun pelakunya. Namun, hal ini bukan berarti menutup kemungkinan bahwa ushul fiqih tidak membuka diri untuk permasalahan yang bersifat particular. Karena memang harus diakui bahwa sebenarnya walaupun hukum harus bersifat umum demi menjaga keobjektifan dan keadilannya sebenarnya pada saat itu juga hukum telah meninggalkan atau mengingkari keduanya. Hal ini disebabkan setiap masalah sebenarnya mempunyai anomali-anomali tersendiri yang memberi pengaruh pada bentuk hukum yang harus diterapkan. Maka, disinilah kemudian letak peran sarjana hukum muslim untuk mempertimbangkan anomaly-anomali tersebut dan memposisikannya sebagai pertimbangan-pertimbangan dalam merumuskan hukum.
Kami harus mengakui bahwa sampai saat ini belum bisa menemukan data-data yang konkret tentang akibat yang ditimbulkan dari nikah bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar motif tradisi. Sehingga pembahasan nikah bawah tangan dari sudut pandang ushul fiqih hanya bisa kami lakukan sampai di sini saja.
Kesimpulan
Pemaknaan nikah bawah tangan dengan nikah sirri pada dasarnya sangatlah berbeda. Nikah bawah tangan adalah pernikahan yang dilakukan secara syah menurut agama (yaitu dengan terpenuhinya syarat dan rukun nikah) tetapi tidak dilaporkan atau dicatatkan di instansi berwenang sesuai dengan UU perkawinan. Sedangkan nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan tanpa wali atau pernikahan yang dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi dengan tidak di adakannya resepsi dan sebagainya dengan alasan pernikahannya tidak ingin di ketahui oleh orang banyak. Sehingga dengan pengertian seperti itu, MUI memperbolehkan nikah bawah tangan. Namun dengan catatan pernikahan tersebut segera mungkin dilaporkan ke instansi berwenang agar kelak pernikahan tersebut tidak mengakibatkan kemadhorotan, baik bagi suami, istri, anak, maupun orang lain.
Dalam dalil nash, tidak ada dalil-dalil yang secara implicit menerangkan tentang nikah bawah tangan. Namun apabila kita melakukan reinterpretasi terhadap hadis-hadis nabi yang berkenaan dengan nikah, maka kita akan menemukan jawaban hadis-hadis nabi terhadap nikah bawah tangan. Misalnya pemaknaan secara kontekstual terhadap hadis Ibnu Majah dari Siti Aisyah: bahwasanya Nabi berkata umumkan pernikahan ini dan pukullah rebana. Pemaknaan hadis tersebut memang tidak menyuruh untuk mencatat pernikahan namun secara historis, kultural dan struktural bisa kita pahami saat itu Nabi berada pada posisi figur tokoh sentral yang melegalkan pernikahan menjadikan pengakuan Nabi bisa dianggap sebagai legalitas formal pernikahan pada masa nabi. Pemaknaan hadis secara konteks perlu dilakukan karena adanya konteks sosio-historis yang berbeda pada masa Nabi, masa awal islam dengan keadaan sekarang.
Untuk menyelesaikan permasalahan nikah bawah tangan kita dapat melihatnya dari sisi ushul fiqh, yaitu dengan menggunakan konsep saad ad-dzaraai'. Ada alasan tersendiri kenapa konsep ini yang kami gunakan. Jika dilihat sebagai sebuah proses yang utuh, posisi nikah bawah tangan sebenarnya bukan sebagai sebuah hasil akhir namun lebih sebagai keadaan yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu dan menghasilkan keadaan-keadaan tertentu bagi pelaku dan orang-orang yang terkait dengan nikah bawah tangan.
Demikianlah makalah ini kami buat. Semoga makalah ini dapat memperluas wawasan kita dan dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk hidup yang lebih baik. “Tiada gading yang tak retak” begitu pula dengan makalah ini tentunya banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik konstruktif dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Daftar Pustaka
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf di Majalah Al Furqan Edisi 12 Tahun III hal. 42,
http://id.wikipedia.org/wiki/19_Fatwa_MUI_%28Mei_2006%29
http://lacikaca.blogspot.com/2009/05/nikah-siri.html
http://muhammad-kurdi.blogspot.com/2008/11/nikah-siri-dan-vagina-yang-terkoyak-1.html
http://tausyiah275.blogsome.com/2005/11/03/nikah-sirri/trackback/
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15651&cl=Berita
Hukum islam di indonesia, drs. Ahmad rofiq M.A, Jakarta: PT raja grafindo persada. Cet.III thn 1998
Perempuan. M.Quraish Shihab, jakarta :lentera hati2007
Telaah ulang wacana seksualitas, mochammad sodik. Yogyakarta:PSW IAIN sunan kalijaga 2004
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/1906/Fatwa_MUI_Nikah_Siri_Sah